Fenomena Krakatau 1883

Gunung Krakatau, demikian sebutan orang Indonesia dan masyarakat Internasional memanggilnya Cancarta atau Krakatoa. Maklum sedikit banyak mengandung bahasa Belanda karena memang Gunung ini mulai naik daun kala Belanda sudah menginjakkan kaki di bumi nusantara. Tepatnya tahun 1883 Agustus tanggal 26,27,28. Ada apa dengan hari-hari tersebut?

Ya, Krakatau. Gunung tepat di Selat Sunda yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera. Gunung yang selama ini asri dan sejuk enak dipandang mata, seakan damai tanpa adanya goncangan apapun. Tapi siapa sangka dari diri Krakatau yang kalem tersebut meletus tepat ditanggal 26 Agustus 1883 seperti yang tersebut diatas. Bukan hanya itu, letusan super dahsyat tersebut bahkan diibaratkan ratusan kali lebih hebat ketimbang si Little Boy (boom atom yang memporak-porandakan Hiroshima-Nagasaki Jepang 1945). Letusan yang terus terjadi berturut-turut dan tidak habis dalam tempo 3 hari hingga tanggal 28 Agustus ditahun yang sama.

Bahkan akibat lain dari letusan ini adalah tsunami setinggi 40 meter (setara gedung 10 lantai bahkan lebih) yang menerjang daratan sekitar. Termasuk Lampung dan Banten (sekarang). Setidaknya 36.000 manusia tewas akibat Krakatau yang mulai menunjukkan gejala meletus sejak 20 Mei tersebut. Demikian juga dengan awan panas menutupi langit setinggi 70 kilometer (bayangkan betapa jauhnya, seperti jarak Malang kota ke Pare Kediri). Abu vulkanik menutupi langit puluhan hingga ratusan kilometer, bahkan salah satu sumber menyebutkan abu vulkanik bertahan dilangit hingga jangka 2 tahun. Inilah bencana dari Indonesia yang selalu tercatat oleh dunia hingga masuk dalam daftar 100 bencana paling mengerikan sepanjang masa.

Selama ini hampir seluruh bahasan Letusan Krakatau 1883 adalah dari olah lokasi seorang arkeolog GJ.Simons dan rekan tentang penelitian Krakatau dan tercatat dalam bukunya The Eruption of Krakatoa and Subsequent Phenomena: Report of the Krakatoa Committee of the Royal Society. Tapi jauh sebelum peneliti asing tersebut tiba dan menuliskan hasil penelitiannya, bahkan seorang melayu sudah menuliskan kesaksiannya, apa yang dia lihat dan dia alami kala Krakatau meletus. Seluruhnya terngkum dalam syair berbahasa Melayu dengan tulisan Arab Melayu. Dialah seorang Muhammad Saleh, diyakini syair itu ia tulis saat ia berada dipengungsian di salah satu lokasi di daratan Singapura. Dengan kata lain Muhammad Saleh adalah salah satu dari sekian ribu korban Krakatau. Dalam informasi tersebut juga dapat didulang bahwa Krakatau pernah meletus pada tahun 1680, tapi belum ada keterangan lebih lengkap apakah letusannya juga sedahsyat 1883. Juga belum didapat sumber yang otentik tentang desas-desus letusan Krakatau 1883-lah yang berhasil memisahkan pulau Jawa dan Sumatera yang sejatinya dahulu bersatu.

Syair Muhammad Saleh tersebut juga menyebutkan banyak sekali pulau-pulau tenggelam dan tak ada satupun dari penghuninya yang selamat. Syukurlah saat ini ada upaya untuk merevitalisasi Syair ini yang karena nilai hitoriknya sangat tak ternilai, selain penulis adalah saksi mata kejadian luar biasa tersebut, ia juga adalah korban yang dalam pengungsian, sebuah upaya menyelamatkan hidup. Bahkan saat menulis syair itu, iapun tak sadar syairnya dapat dibagi ke anak-cucu.

Berikut data syair Muhammad Saleh dalam 4 edisi :
  • Edisi pertama syari ini malah terbit di Singapura, tempat ia mempertahankan hidup menjauh dari cengkeraman kematian oleh Krakatau, dengan judul Syair Negeri Lampung yang Dinaiki oleh Air dan Hujan Abu dengan angka tahun 1301 H (sekitar Oktober 1884),
  • Edisi kedua terbit dengan judul Syair Lampung Dinaiki Air Laut bertanggal 2 Safar 1302 (21 November 1884),
  • Edisi ketiga berjudul Syair Lampung Dinaiki Air Laut bertanggal 27 Rabiulawal 1301 H (3 Januari 1886) dan diterbikan oleh Haji Said,
  • Edisi keempat berjudul Inilah Syair Lampung Karam Adanya bertanggal 10 Safar 1306 H (16 Oktober 1888),

Kutipan dari salah satu Syair Muhammad Saleh :
Orang banyak nyatalah tentu, Bilangan lebih daripada seribu
Mati sekalian orangnya itu, Ditimpa lumpur, api dan abu.

Pulau Sebuku dikata orang, Ada seribu lebih dan kurang,
Orangnya habis nyatalah terang, Tiadalah hidup barang seorang.

Rupanya mayat tidak dikatakan, Hamba melihat rasanya pingsan,
Apalah lagi yang punya badan, Harapkan rahmat Allah balaskan.

Demikian Krakatau mewarnai sejarah dan ilmu pengetahuan dunia. Dan saat ini Kraktau memang tak aktif lagi, tapi gantian anaknya yang mulai batuk-batuk dan sering bikin ulah. Gunung Anak Krakatau, demikian disebutkan, bahkan sudah mulai batuk-batuk 1300 kali (7-8 Mei 2008) dan gejala ini sudah mulai terlihat sejak sebulan sebelumnya. Dan apakah memang Krakatau dan keturunan bergejolak tiap bulan April dan Mei hingga Agustus ?
 
0 Komentar untuk "Fenomena Krakatau 1883"